Senja itu adalah salah satu senja yang paling aku ingat. Dengan debar khas seorang lulusan SMA menanti sebuah pengumuman ‘paling-penting-di-dunia’ baginya saat itu (baca: pengumuman seleksi universitas), aku berkutat sepanjang hari dalam harapan dan do’a.. Pengumuman ini akan menjadi salah satu segmen yang sangat menentukan bagiku. Seperti apa aku akan menjalani kehidupanku selanjutnya, seperti apa aku akan mengikuti jalan panjang menyusun fragmen-fragmen mimpiku yang baru. Seusai UAN dan UAS, bukan artinya aku bisa bernapas lega. Pada masa itu, ujian-ujian seleksi universitas tersedia beraneka rupa, mulai dari PMDK, Ujian Tulis, Ujian Mandiri, Seleksi Masuk, Ujian Masuk Bersama dan, yang saat ini sedang aku tunggu-tunggu hasilnya, SNMPTN. Urutannya juga demikian. Mula-mula, seleksi paling dini yang tersedia adalah PMDK, kemudian Ujian Mandiri dengan berbagai nama (ada yang menyebutnya UTUL, UM, SIMAK), UMB, lantas yang terakhir : SNMPTN. Aku mengikuti keseluruhannya demi ‘kekeraskepalaan’ ku mewujudkan impian untuk menjadi seorang dokter. Aku mengirimkan berkas PMDK untuk Jurusan Pendidikan Dokter ke sebuah universitas. Ditolak. Aku mengikuti seleksi ujian universitas di daerah Yogyakarta dan Jakarta dengan dua pilihan utama : Pendidikan Dokter dan Biologi. Diterima di pilihan kedua, untuk keduanya. Aku mengikuti UMB dengan pilihan Pendidikan Dokter di tiga universitas berbeda. Ditolak. Dengan saran dan pertimbangan keluargaku, aku memang akhirnya menjalani proses daftar ulang untuk Biologi-ku (yang sangat kusukai) di Yogyakarta, tapi aku masih bersikeras mengikuti SNMPTN. Aku belum ingin menyerah, sungguh.
Maka, senja itu adalah permulaan kisah panjang yang
kemudian menemaniku hingga saat ini.
Saat teman-temanku mulai ‘ribut’ mengabarkan hasil ujian mereka, aku membuka pengumuman dengan namaku sambil (nyaris) menahan napas. Mataku berair. Allah Maha Besar ! Di layar yang ada di hadapanku, tertera sebuah nama yang amat kukenal, nomor ujiannya dan.. keterangan bahwa aku diterima di FK Unpad. Secara spontan, aku melompat dan menunjukkan pengumuman itu pada ibuku, dengan senyuman paling alamiah akan sebuah pemahaman : Ini adalah sebuah permulaan sebuah perjuangan besar. Mula-mula, aku kembali mengikuti daftar ulang di Jatinangor (dan oh, aku tahu aku akan selalu merindukan Yogyakarta). Mengurus kepindahanku ke Bale Padjadjaran. Kemudian, kisah ini pun dimulai.
Saat teman-temanku mulai ‘ribut’ mengabarkan hasil ujian mereka, aku membuka pengumuman dengan namaku sambil (nyaris) menahan napas. Mataku berair. Allah Maha Besar ! Di layar yang ada di hadapanku, tertera sebuah nama yang amat kukenal, nomor ujiannya dan.. keterangan bahwa aku diterima di FK Unpad. Secara spontan, aku melompat dan menunjukkan pengumuman itu pada ibuku, dengan senyuman paling alamiah akan sebuah pemahaman : Ini adalah sebuah permulaan sebuah perjuangan besar. Mula-mula, aku kembali mengikuti daftar ulang di Jatinangor (dan oh, aku tahu aku akan selalu merindukan Yogyakarta). Mengurus kepindahanku ke Bale Padjadjaran. Kemudian, kisah ini pun dimulai.
Mungkin dua paragraf di awal tulisan ini adalah sebuah
pendahuluan yang (sangat) panjang untuk mengisahkan
‘perasaan-kamu-saat-pertama-kali-diterima-di-FKUP’. Tapi apa yang aku tulis di
kedua paragraf tersebut adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari kisah
itu sendiri. Masa-masa awal menjadi seorang mahasiswa kedokteran adalah masa
petualangan ‘emotional roller coaster’. Izinkan aku mengutip beberapa paragraf
lainnya dari sebuah tulisan yang pernah kutuliskan di blog :
Sebelum masuk
kedokteran, orang-orang di sekitarmu sering membujukmu untuk berpikir ulang.
Kakak-kakak yang juga berkuliah di fakultas kedokteran berkata bahwa kuliah di
sini berat, sulit, tapi tentu saja, pikiran yang terlintas olehmu demikian
sederhananya, “Ya, mau ambil apapun juga awalnya sulit. Tapi kalau mau, pasti
bisa.” Saat ditanyakan diterima, rasanya lega. Lalu yang terasa adalah euforia,
senang sekali saat mimpi masa kecil itu semakin dekat. Seperti terbang ke
langit.
Kemudian,
tiba-tiba, saat memasuki pintu itu semakin dalam, kamu terjatuh sebegitu keras
tanpa aba-aba. Tega sekali. Tiba-tiba jurang itu terasa menyakitkan, dan kamu
mendarat tanpa persiapan apa-apa. Kamu menangis, kamu ingin menyerah. Saat kamu
menuruti keinginan itu, ya sudah, pindah kuliah saja. Ceritapun berakhir.
Tapi, lebih
banyak lagi, kamu menulikan pendengaranmu dari pikiran-pikiran negatif yang
menghakimi dirimu tak sanggup lagi. Alih-alih menyerah, kamu malah tersenyum.
Kamu sudah memulai, dan kamu akan melanjutkannya. Bukan semata inginmu kamu
diterima di sini, bukan semata mampumu, tapi Ia yang memilihmu. Lalu, meski
berbeda dengan kesenangan yang pertama, kamu mulai benar-benar tersenyum. Meski
sederhana, kamu mulai mengumpulkan peralatan yang kamu butuhkan untuk mendaki.
Tidak sendirian. Karena ada Allah yang menanti pengabdianmu, ada teman-teman
seperjuangan yang bersama-sama di sisimu. Dari sana, kamu mulai jatuh hati,
pada dunia amat berbeda yang bernama kedokteran.
(“Saya,
Dokter, dan Kuliah Kedokteran” dari anginvenus.wordpress.com)
Dengan senang hati aku rangkumkan roller coaster itu
menjadi : Euforia-Jatuh -Bangun-Jatuh cinta.
Euforia adalah saat kita dipenuhi kebahagiaan karena
mimpi itu sudah sangat dekat. Setiap orang yang mengenalmu—saudara, sahabat,
teman, guru—turut serta dalam kebahagiaan itu. Memberi selamat. Menyampaikan
do’a. Mengirimkan semangat.
Jatuh adalah saat kita disambut oleh ‘kejutan-kejutan’
kala menjadi mahasiswa kedokteran. Jadwal yang padat. Tuntutan akademik yang
tinggi. Buku-buku yang tebal (sampai ada candaan, “Bisa buat ngeganjal mobil
mogok, ini mah”). Keterampilan beraneka rupa yang harus kita miliki
untuk menjadi seorang dokter yang baik—softskill, kecerdasan
emosi, keterampilan komunikasi atau kemampuan meneliti, misalnya.
Tantangan-tantangan baru itu datang serentak seakan-akan mereka bersekongkol
untuk membuatmu, ya, kadang-kadang, menangis.
Hei, tapi tenanglah. Setiap orang juga mengalami hal
yang sama. Setidaknya, kamu tidak sendirian, dan kamu memang tidak pernah
sendirian. Saat kamu memiliki kesadaran bahwa ketika Allah memilihkan ini untukmu
di antara sekian banyak pilihan yang lain karena ini yang terbaik untukmu, maka
kamu akan mulai bangkit. Tugasmu sekarang adalah melalui ini semua dan
menjalani setiap prosesnya dengan upaya terbaik.
Hey Mr Grump Gills
You know what you gotta do when life gets you down?
Just keep swimming
Just keep swimming
Just keep swimming swimming swimming
What do we do we swim, swim, swim
(Dory, Finding Nemo)
Begitulah. Bangun. Ya !
Kemudian, di tengah-tengah perjuangan yang kamu
rintis, kamu akan merasakan sensasi jatuh yang lainnya : Jatuh Cinta. Yaa,
mungkin beberapa darimu akan menolak mengakuinya. Tapi aku mengajukan diri
untuk memberikan kosa kata itu padamu. Jatuh cinta pada dunia kedokteran. Jatuh
cinta pada salah satu bidang ilmu yang Allah amanahkan padamu untuk dipelajari
dan diamalkan. Jatuh cinta pada skenario-Nya yang istimewa.
Pertanyaan terakhir : “Bagaimana kita bisa melalui
semuanya dengan baik. Bagaimana kita bisa bertahan dan bersahabat dengan
kesulitan yang sedemikian rupa?”
Jangan pernah lepaskan dirimu dari kedekatan dengan
Sang Pencipta. Sesulit apapun. Sesibuk apapun. Selelah apapun. Di samping
seluruh upaya dan keteguhan kita untuk berjuang, ketahuilah, bahwa selalu ada
Allah dan pertolongan-Nya yang akan membantumu melewati setiap jenak perjalanan
ini. Menikmati roller coaster kehidupan dan memenuhinya dengan
kenangan-kenangan istimewa. Karena, menjadi dokter adalah bentuk ketaatan kita
pada Allah J
“Tersenyumlah… Allah mencintaimu lebih dari yang kau
perlu.”
(Tasaro, Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai
Sudah Itu Mati?)
Pamulang, 12 Agustus 2012
Nur Afifah
0 comments:
Post a Comment